Sunday 24 August 2014

indigo fenox startup indonesia

 

Indonesia sudah menjadi market yang mudah dimasuki oleh investor atau startup luar, kecuali baru-baru ini saja per April 2014 di mana e-commerce masuk di negative list investasi luar negeri. Saya pribadi, sebagai seorang ex bankir tidak ingin startup Indonesia jadi seperti industri perbankan Indonesia di mana cabang bank asing banyak sekali di Indonesia tetapi bank BUMN mau buka satu saja cabang di Singapura atau China sulit sekali.

Melihat situasi ini, sudah jelas bahwa startup Indonesia juga perlu diekspor, entah itu ke South East Asia terlebih dahulu atau ke Silicon Valley. Tentunya bukan hal yang baru mendengar startup dari Indonesia yang sudah di "back" oleh venture capital dari Jepang atau Singapura. Bahkan sudah ada startup Indonesia yang telah diakusisi perusahaan teknologi dari Silicon Valley (Yahoo! Koprol).

Baru-baru ini diumumkan kolaborasi antara Telkom dan Fenox yang akan melakukan investasi bersama melalui Corporate Venture Capital untuk perusahaan teknologi di Silicon Valley. Ini pertama kalinya dilakukan oleh perusahaan dari Indonesia berinvestasi di sana, tujuan besarnya adalah membawa 'best practice' dari Silicon Valley ke Indonesia, yang salah satunya melalui program inkubasi, Indigo Fenox.

Indigo Fenox merupakan program yang bersinergi dengan Indigo Inkubator. Inisitatif ini merupakan bentuk kerja sama untuk lebih mempercepat pertumbuhan sektor startup di Indonesia. Salah satu orang yang saya kenal baik di program tersebut adalah Nicko Widjaja. Saat ini ia bersama tim Telkom dan Fenox sedang mempersiapkan peluncuran program yang rencananya akan berjalan di bulan November 2014.

Saya mengenal Nicko ketika bekerja di dalam Systec Group. Sepak terjangnya sebagai seorang entrepreneur cukup panjang setelah ia berhenti bekerja sebagai eksekutif korporasi pada tahun 2006 (sebelumnya ia adalah associate marketing director di Indofood). Beberapa diantaranya adalah: Thinking Room, Mindcode Indonesia dan Systec Group. Di sela itu semua, ia juga masih aktif sebagai dosen di UPH Business School sejak 2009.

Saya bergabung pada tahun 2012 dan merupakan salah satu early recruit. Tugas saya waktu itu adalah mencari para startup yang ingin bergabung dengan Systec Group entah melalui investasi maupun inkubasi. (Systec Group adalah perusahaan holding teknologi yang memiliki armada investasi dan inkubasi)

Selama itu, saya banyak berinteraksi dengan para "murid" pilihan Nicko. Dalam perjalanannya sebagai seorang dosen, ia banyak melihat beberapa mahasiswa yang "spesial" di kampus. Mereka yang dilihat Nicko sebagai orang yang memiliki potensi yang lebih besar dari rutinitas hidup yang mereka hadapi saat itu. Ia selalu mengundang beberapa mahasiswa pilihan untuk magang di beberapa perusahaannya itu baik Mindcode maupun Systec.

Satu hal dari Nicko yang saya tahu: ia sangat mudah mengenali talenta. Dan lebih baik lagi: talenta sangat mudah mengenal Nicko. Kebanyakan para "murid" yang saya kenal memiliki "keajaiban" atau mungkin lebih cocok "keanehan" atau outliers di aspek tertentu yang sulit saya jelaskan. Contohnya, salah satu anak muda yang saya kenal baik saat kami semua berada di Systec menulis obituary dirinya sendiri saat melamar magang ke Nicko berisikan apa yang ingin dikenang orang lain terhadap dirinya ketika ajal menjemput mereka. Kadang saya berfikir "Bagaimana caranya Nicko menemukan manusia-manusia seperti ini?"

Kolaborasi Fenox VC dan Telkom Group

Kolaborasi antara Telkom Indonesia, perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, bersama dengan Fenox Venture Capital menghasilkan Indigo Fenox, inkubator dengan skala global. Yang mensinergikan momentum yang sudah ada dari Indigo Incubator milik Telkom dan expertise dari Fenox VC dalam membangun perusahaan kelas dunia. (Fenox VC sudah berinvestasi di 37 startup dunia, beberapa di Indonesia seperti Bukalapak.com, Urbanindo.com).

Indigo Fenox akan memiliki visiting mentor dari Silicon Valley yang membantu membangun kompetensi sehat diantara founder yang tergabung di dalam program 4 bulan untuk mempersiapkan mereka menjadi perusahaan global yang kompetitif. Dedicated lead mentor juga disediakan untuk setiap startup selama periode inkubasi. Startup terbaik dari tiap batch (dalam setahun akan ada 2 batch) akan dikirim ke Silicon Valley untuk belajar dari pemimpin teknologi startup di sana.

Saya sendiri memiliki harapan besar untuk inkubator baru ini, untuk membantu meng"ekspor" startup Indonesia, ke luar Indonesia.

Saya mengirimkan beberapa pertanyaan kepada Nicko tentang program ini, jawaban dari Nicko adalah tulisan "Silicon Valley Mindset" di bawah ini.

Silicon Valley Mindset

Saya pernah bertanya kepada salah satu associate ketika di Systec, "Kenapa kamu pindah dari perusahaan besar ke perusahaan ini?" (Ia bekerja di salah satu perusahaan consumer goods terbesar di dunia)

Jawabannya, "Karena ketika saya berdesakan di dalam lift, dan masuklah seorang direktur senior, dan orang-orang disekeliling saya segan dan 'menyingkir' memberikan ruang bagi sang direktur senior tersebut."

Jawaban ini dari seorang associate yang berumur 23 tahun. Dan membuat saya berfikir kembali kepada sebuah halangan terhadap proses inovasi yaitu hirarki dan birokrasi yang berbelit. Sebuah budaya "yes man" yang sudah mengakar didalam tiap mindset kita harus diubah.

Silicon Valley adalah sebuah budaya. Budayanya anak muda. Perusahaan yang memiliki ekskutif berumur diatas 40-an pun memiliki budaya anak muda. Budaya ini bukanlah hal baru, contohnya seorang associate di atas itu memiliki budaya Silicon Valley. Kami hanya berfikir untuk meng-amplify dari budaya yang sudah lahir dari generasi berikutnya saja.

Rhein dan saya bekerja bersama beberapa tahun lalu di Systec Group.
Kami memiliki beberapa portfolio yang baik, tetapi lebih baik lagi kami bertemu startup founder yang sangat menarik, Alvian Lim dari Karnivall, Muhammad Ajie Santika dari TinkerGames, Rama Manusama dari Wikasa, dan lainnya (Systec Group memiliki lebih dari selusin 'seeds' dalam 2 tahun).

Mereka bukan oportunis. Mereka tidak peduli tentang hal menjadi terkenal atau cepat kaya. Mereka adalah orang-orang yang sangat fokus mengerjakan sesuatu dengan benar dan bukan pepesan belaka. Salah satu contohnya, Karnivall, sebuah startup app di iOS yang telah di download lebih dari 10 juta dari mancanegara dalam waktu kurang dari 1 tahun. Ini sesuatu yang sulit dipercaya, namun kenyataannya ada. (Umumnya yang mendownload adalah mereka di Amerika Serikat dan Jepang).

Rama Manusama meninggalkan pekerjaannya di RBS Belanda untuk memulai Criticube, startup Q&A di Eropa. Gagal setelah menghabiskan banyak tabungan hidupnya. Orang normal pasti sudah menyerah dan kembali ke pekerjaannya untuk 'recover', tetapi Rama malah memulai lagi dari nol dengan Wikasa.com yang berbasis di Singapura. Wikasa.com adalah sebuah aplikasi untuk merekam audio slidecast dengan instant.

Muhammad Ajie Santika seorang pemimpin yang inspirasional. Tidak pernah saya melihat kematangan yang dimiliki seseorang di usia yang sangat muda. Saya bertemu Ajie ketika ia masih berusia 22 tahun. Ajie berhasil menavigasi teamnya menuju keberhasilan dan menjadi pembicara termuda di APEC CEO Summit di Bali tahun lalu.

Rebels, hackers, leaders. Mereka tidak ingin dibatasi oleh aturan main dari siapapun. Saya harap para pembaca mengenal mereka lebih dalam setelah ini.

Banyak inkubator-inkubator lokal yang 'menyerah'. Mereka selalu mengatakan 'anak-anak ini sulit diatur!' Ini yang salah kaprah. Mereka adalah entrepreneur. Koq malah ingin diatur?

Yang harus dilakukan adalah memberikan contoh, inspirasi, dan semangat agar mereka menemukan sendiri jati diri masing-masing. Kita hidup di abad 21, bukan ekonomi pabrik. Di abad 19, pertengahan era ekonomi industri, semua orang diharapkan sama: patuh, disiplin, produktif. Tidak masuk akal menggunakan 'template' seperti itu di abad 21 entrepreneurship.

Juga tidak masuk akal bagi mereka yang ingin cepat kaya. Yang terjadi belakangan ini di dalam dunia VC maupun startup di Indonesia adalah "vulturism" dimana pemodal memangsa founder yang masih polos. Ini juga menghambat kemajuan era entrepreneurship kedepannya.

Membangun Silicon Valley mindset di Indonesia bukan hanya pada startupnya saja tetapi juga kepada komunitas investor dan venture capital.

Reid Hoffman pernah mengatakan Silicon Valley bukanlah suatu tempat, tetapi sebuah mindset. (Benar, karena kamu tidak akan menemukannya di peta).

Inilah yang dimaksud dengan mindset Silicon Valley di dalam program Indigo Fenox.

Saya berbagi ini dengan Rhein, karena Rhein tahu persis apa yang saya pikirkan. Ini bukanlah sesuatu yang baru bagi Rhein dan saya, karena kami sering berdiskusi mengenai hal ini sejak tahun 2012 tentang bagaimana membangun dunia pendidikan entrepreneurship untuk abad 21 ini.

Berikut ini adalah versi asli dari tulisan Nicko Widjaja.

 

Why We Need a Silicon Valley Mindset?

Not many people know that Rhein and I had worked together in Systec Group few years back.

We had a good run. We've met good startup founders like Alvian Lim of Karnivall, Muhammad Ajie Santika of Tinker Games, Rama Manusama of Wikasa, and others. (Systec had more than a dozen seeds in two years)

These guys are rebels, hackers, leaders. They're not fond of rules and playing by everybody's rules.

They're not opportunistic. They don't care about getting famous nor rich quick. They are very much focus in proving themselves right. And these guys aren't just talk only – for example, Karnivall's total app downloads in iOS is 10+ million (in less than a year). It's unbelievable.

Rama Manusama left his job in RBS (Royal Bank of Scotland) to start Criticube in the Netherlands, failed after a year plus. Now, normal people would just give up and return to his previous job, but Rama, he's quite persistence to start over.

Muhammad Ajie Santika of Tinker Games is really inspirational. A natural leader. I haven't seen such maturity in a 24 year old (I met Ajie when he was only 22 years old). He navigates the company to stardom and was the youngest speaker in last year's APEC CEO Summit.

I can say that those who fail are 'too normal' to begin with. "Normal" is mediocrity. They concern more about money than trying to find real problems to solve. They try to apply the "factory template" that they've been taught in life into the new way of doing things.

While those who are rebellious, intelligent, open-minded, and risk taking found in great entrepreneurs. These traits are very likely found in successful Silicon Valley founders.

We've seen less and less incubators in Indonesia lately. After talking to them on separate occasions, most of them said, "These kids are wrecks! We can't tell them to do things our way!" This is wrong. They're entrepreneurs. Of course they wouldn't want you to tell them otherwise. Most of investors in this region are behaving like vultures too. This is not an ideal environment for startup to thrive.

In the end, we're not only trying to build the Silicon Valley mindset among startup founders, but to community of investors and venture capitalists.

Reid Hoffman once said that Silicon Valley is not a place, it's a mindset.
(It's true; you won't find it on any map)

This is what we meant when we said that we're going to have a Silicon Valley mindset in our program.

I'm sharing this with Rhein, because we've had this discussion two years ago in 2012 about building the right ecosystem to boost Indonesia's startup presence. Pretty sure, Rhein knows what I think is better than anyone else.



Powered By WizardRSS.com | Full Text RSS Feed | Amazon Wordpress | rfid blocking wallet sleeves


sumber : Mengapa Kita Membutuhkan Mindset Silicon Valley Dalam Membangun Ekosistem Startup Di Indonesia?

Baca selengkapnya di --> Mengapa Kita Membutuhkan Mindset Silicon Valley Dalam Membangun Ekosistem Startup Di Indonesia?



Share Artikel ini! »»

0 comments:

Post a Comment