Wednesday, 27 August 2014

shutterstock_35146825Operator CDMA dikabarkan dalam kondisi sulit, karena kalah bersaing dari segi tarif dan keterbatasan handset. Bagaimana upaya mereka untuk bertahan, apa saran BRTI agar mereka bisa kompetitif?

Kita mengenal dua standar teknologi komunikasi selular. Pertama berbasis GSM (Global System for Mobile Communication), kedua CDMA (Code Division Multiple Access). Teknologi GSM sebagian besar dikembangkan oleh negara-negara Eropa, sedangkan CDMA umumnya dikembangkan oleh Amerika Serikat, Jepang, dan China.

Teknologi GSM mulai berkembang di Indonesia tahun 1993, ditandai dengan proyek percontohan selular digital PT Telkom di Pulau Batam dan Bintan. Teknologi GSM berkembang terus, tahun 1994 PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) tercatat sebagai operator pertama di Indonesia yang memperkenalkan sistem SIM Card. Kemudian, menyusul Telkomsel yang didirikan oleh PT Telkom tahun 1996 dan XL dari PT Excelcomindo Pratama (kini menjadi PT XL Axiata Tbk) pada tahun 1996.

Teknologi CDMA hadir belakangan, tahun 2003, ditandai dengan kehadiran Esia dari Bakrie Telecom dan Flexi milik PT Telkom. Munculnya CDMA yang menawarkan tarif komunikasi murah dengan handset terjangkau memperluas penetrasi komunikasi selular di Indonesia. Namun hingga hari ini, CDMA tidak mampu bersaing dengan GSM, bahkan ada indikasi makin terpuruk.

Di media online berkembang isu layanan CDMA akan “tutup buku” tahun ini. Telkom Flexi kabarnya akan mengalihkan layanannya ke Telkomsel. Ridwan Effendi, Anggota Komisioner BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia), membenarkan bahwa hampir semua operator CDMA merugi. Dia mengatakan, pendapatan seluruh operator CDMA hanya 3% di bisnis telekomunikasi. Ini kemunduran dibandingkan masa awal beroperasi saat pendapatan seluruh operator CDMA mencapai 7%.

“Kita punya datanya, tapi tidak untuk konsumsi umum. Kalau melihat kinerjanya Telkom Flexi saja merugi. Bakrie jelas rugi, Smartfren rugi, Indosat StarOne juga rugi , jadi semua CDMA merugi,” jelas Ridwan yang diwawancarai beberapa hari lalu di kantornya.

Saat ini ada enam operator CDMA di Indonesia. Di rentang pita frekuensi 450MHz ada Ceria milik Sampoerna Telekomunikasi Indonesia. Di rentang pita 850MHz ada empat operator yakni Esia, Telkom Flexi, Smartfren, dan StarOne (Indosat). Satu lagi Smart Telecom yang bermain di pita frekuensi 1900.

Ridwan melihat ada tiga faktor yang membuat CDMA tidak berkutik dalam menghadapi GSM. Pertama, konsorsium CDMA yang tergabung dalam 3GPP2 (3rd Generation Partnership Project 2) memang tidak berniat mengembangkan lagi teknologi CDMA. “Jadi, dalam generasi berikutnya dari evolusi CDMA mereka sudah menyatakan diri bergabung dengan konsorsium LTE (Long Term Evolution). Artinya mereka pindah teknologi dari CDMA 2000 ke LTE,” jelas dia.

Kedua, terjadinya perang tarif yang dimulai tahun 2008, praktis tarif selular CDMA dengan GSM sudah hampir sama. Sebelumnya pemerintah mengatur BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi CDMA lebih murah dibandingkan GSM.Namun, hal ini sekarang tidak berlaku lagi. Dampaknya biaya modal dan biaya operasional yang harus ditanggung operator CDMA membengkak.

Ketiga, ketersediaan handset yang terbatas dibandingkan handset GSM. Apalagi CDMA 450MHz, operator juga harus menjual ponsel sekalian. “Di pasaran tidak ada yang jual handset-nya. Terpaksa operatorharus bundling,” jelasnya.

Tekan Kerugian

Jastiro Abi, CEO PT Bakrie Telecom Tbk, yang diwawancarai terpisah mengakui Esia mengalami penurunan jumlah pelanggan pada tahun 2012. Karena itu, di tahun 2012 Esia mengalami kerugian sebesar Rp3 triliun. Esia lalu melakukan revitalisasi, langkah yang diambil antara lain menutup beberapa BTS (base transceiver station) yang tidak produktif. Hasilnya mulai terlihat di akhir tahun 2013; Esia berhasil menekan kerugian menjadi Rp1,5 triliun.

“Perkembangan tersebut merupakan hasil yang sangat menggembirakan bagi kami. Memang kami akui tidak bisa langsung dapat menekan rugi, tapi bisa dengan pelan-pelan,” tutur Jastiro. Saat ini, pelanggan Esia mencapai sekitar 12 juta yang tersebar di area Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

Secara teknologi, Esia tidak kalah dengan teknologi GSM. Kalau GSM mengandalkan 3G, Esia juga punya teknologi yang setara dengan itu, yakni EVDO (Evolution-Data Optimized). Esia juga tengah berupaya mendongkrak kinerja bisnisnya melalui strategi OTT (over the top). Salah satu bentuk kongkretnya bersinergi dengan media sosial Path. Sebagaimana diketahui, Bakrie Group baru-baru ini telah membeli sebagian saham Path.

“Sinergi Esia dan Path tentunya diharapkan memberikan manfaat besar bagi pengembangan bisnis Esia, terutama dalam hal pengembangan layanan data dan bisnis OTT kami,” katanya.

Di tengah euforia deman ponsel pintar, Esia seperti tenggelam. Padahal Esia sebenarnya turut bermain di pasar ini. Pada pertengahan tahun 2013 lalu Esia sempat merilis ponsel cerdas Android MAXtouch 5.3. Ponsel ini menyasar pengguna yang sering mengakses situs jejaring sosial.

“Kami memang fokus konsolidasi internal untuk menata perusahaan, inilah yang kami lakukan mulai tahun 2012. Tahun 2013 kami sudah mulai melakukan action atau implementasi turun ke lapangan,” jelasnya.

Smartfren Masih Agresif

Di tengah semakin sulitnya operator CDMA meraih pendapatan, Smartfren masih mampu mengerek pendapatan. Pada kuartal IV tahun 2013, revenue Smartfren dilaporkan mencapai sekitar Rp2,4 triliun. Melonjak tajam sekitar 47% dibandingkan kuartal yang sama tahun sebelumnya. Lonjakan pendapatan Smartfren banyak disumbang dari layanan data, dimana ARPU (average revenue per user) data lebih tinggi 4 sampai 5 kali dari voice.

Membaiknya pendapatan Smartfren membuat operator CDMA ini tetap ekspansif dalam menambah BTS. Seperti dituturkan Merza Fachys, Direktur Smartfren, pihaknya berencana mengembangkan BTS di 2.000 titik di Indonesia. Wilayah yang diincar antara lain Jakarta, juga di wilayah Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan Malang. Investasi yang dibutuhkan tak kurang dari US$100 juta. Jumlah tersebut digunakan untuk membangun BTS baru dan menambah kapasitas pada BTS yang ada. Menurut rencana, tahun 2014 dan tahun berikutnya Smartfren akan menambah 1.500 lebih BTS.

Tingginya penggunaan data di Smartfen menandakan kepuasan konsumen akan layanan Smartfren. Jika bicara ekosistem, Smartfren memang sudah sangat siap untuk melayani pelanggan data, dengan teknologi EVDO Rev.B Phase yang kanal data dan suaranya dipisahkan. Berbeda dengan GSM yang satu kanal; jika salah satu trafik sedang padat, tentunya akan mengorbankan yang lain, entah voice atau layanan data. Ini menjadi senjata untuk menghadapi persaingan di ranah layanan data.

Namun demikian diakui Merza, cukup berat bertahan di teknologi CDMA. Penyebabnya adalah minimnya ketersediaan perangkat telekomunikasi berbasis CDMA. Mengatasi kendala ini, Smartfren mendatangkan sendiri ponsel, tablet, dan modem berbasis CDMA.

“Kami selalu memerhatikan pelanggan dengan menyediakan perangkat berfitur lengkap namun dengan harga yang terjangkau, untuk memastikan para pelanggan kami mendapatkan pengalaman terbaik,” tambah Merza.

Berdasarkan data IDC, Smartfren menempati peringkat kedua sebagai perusahaan yang mengirimkan ponsel pintar terbanyak ke Indonesia, khususnya seri Andromax—jumlahnya kurang lebih 330 ribu unit pada Q3 tahun 2013. Hingga akhir tahun, Smartfren berhasil mengimpor sekitar 600 ribu unit smartphone. Mengenai pelanggan, per kuartal IV tahun 2013 jumlahnya sekitar 11,3 juta pelanggan. Dari jumlah tersebut, pelanggan data mencapai sekitar 5,9 juta pelanggan, sedangkan pelanggan BlackBerry sekitar 900 ribu pelanggan.

“Yang kami lakukan saat ini adalah tetap fokus dan memajukan core business kami yang memang sampai saat ini adalah CDMA. Tetapi, jika nantinya CDMAberevolusi, berganti teknologi baru ataupun hanya sekadar berubah nama, kami siap untuk terus mengikuti perkembangan hal tersebut,” ujar Merza.

BRTI Akan Panggil Operator CDMA

Mencermati perkembangan bisnis CDMA akhir-akhir ini, BRTI selaku badan pembina industri telekomunikasi di Indonesia rencananya akan memanggil petinggi operator CDMA. BRTI kata Ridwan ingin mendengar langsung rencana bisnis tiap-tiap operator sebelum memberikan rekomendasi kepada menteri terkait.

Menurut BRTI, operator CDMA tidak bisa menutup begitu saja layanannya karena menyangkut kepentingan pelanggan yang jumlahnya diperkirakan mencapai 35 juta dari seluruh operator. Operator juga tidak bisa begitu saja mengalihkan semua pelanggannya ke operator lain meski dalam satu grup.

“Yang saya dengar Telkom Flexi mau mengalihkan frekuensinya ke Telkomsel, tapi itu ada hambatan regulasi karena frekuensi itu tidak otomatis. Diberikan sesuai peraturan pemerintah. Harus ada prosesnya seperti AXIS merger dengan XL,” katanya.

Untuk menyelamatkan operator CDMA ia menyarankan seluruh operator yang ada di pita frekuensi 850MHz bergabung membentuk konsorsium dan bermigrasi ke LTE. “Jadi, ada satu penyelenggara jaringan, artinya konsolidasi jaringan, keempat operator di 850 boleh sama-sama memanfaatkan jaringan tersebut,” jelasnya.

Kolaborasi empat operator merupakan solusi yang tepat mengingat konsorsium 3GPP2 menyatakan tidak akan mengembangkan lagi CDMA 2000 dan berniat beralih ke LTE. Namun, untuk bermigrasi ke LTE dibutuhkan frekuensi pita lebar. Sementara jika tiap-tiap operator CDMA memikulnya sendiri tidak akan mampu, mengingat bandwith mereka yang terbatas, rata-rata di bawah 5MHz.



Powered By WizardRSS.com | Full Text RSS Feed | Amazon Wordpress | rfid blocking wallet sleeves


sumber : Gamang Masa Depan CDMA

Baca selengkapnya di --> Gamang Masa Depan CDMA



Share Artikel ini! »»

0 comments:

Post a Comment