Penggemar kopi kini semakin dimanjakan dengan hadirnya kopi kemasan botol plastik atau polyethylene terephthalate (PET). Apakah inovasi ini dapat diterima pasar?
Bertumbuhnya kelas menengah memberikan kesempatan bagi para pelaku bisnis. Pasalnya, seseorang yang berada dalam kelas ini cenderung mengalami peningkatan kebutuhan konsumsi dan responsif terhadap perkembangan baru. Uniknya mereka tidak hanya ingin membeli produk atau jasa atas dasar kebutuhan, tetapi juga harus selaras dengan gaya hidup.
Peluang ini pula yang dibaca para produsen kopi, khususnya produk ready to drink (RTD), dengan melakukan inovasi guna menyediakan produk premium berharga terjangkau. Menariknya, inovasi tersebut tidak hanya sebatas menciptakan varian produk baru, tetapi bereksperimen dari sisi kemasan agar menarik konsumen. Salah satunya mengenalkan kopi dalam kemasan botol PET.
Tren kopi kemasan botol PET pertama kali dikenalkan oleh Mayora Group dengan merilis merek “Kopiko 78°C”, jenis coffee latte yang diekstrasi dengan suhu 78 derajat celsius. Konon suhu tersebut sangat ideal untuk mendapatkan rasa kopi yang nikmat.
Kopi tersebut kemudian dikemas dalam botol PET ukuran 250 ml. Seakan tak mau kalah dengan Mayora, Kapal Api Group pun meluncurkan produk serupa, yakni “Good Day” dalam kemasan botol PET ukuran 250 ml. Ada dua varian yang dilempar ke pasar, yakni Tiramisu Bliss Coffee dan Funtastic Mocacinno.
Jika mencermati kemasan, harga, dan varian rasanya, kedua produk minuman RTD di atas sama-sama menyasar remaja dan dewasa di kelas menengah ke atas yang menuntut modernitas dan kepraktisan. “Kopiko 78°C menyasar segmen gaya hidup kalangan muda, begitu pula dengan Good Day. Bentuknya simpel dan praktis, sangat cocok untuk dikonsumsi di mana pun dan kapan pun,” kata Asnan Furinto, Pengamat Pemasaran.
Ia menambahkan, secara umum kemunculan kopi kemasan botol PET merupakan lahan kompetisi baru. Bila sebelumnya persaingan berkutat di kopi bubuk, lalu masuk ke era sachet, dan kemasan gelas plastik, kini persaingan melebar ke kemasan botol plastik (PET). Konsep kopi kemasan botol PET sepertinya mengikuti produk teh yang sudah lebih dulu dan sukses bermain di kemasan botol PET.
“Kalau dilihat, bisnis kopi saat ini sedang mengikuti life cycle-nya produk teh RTD. Bila dulu teh botol dengan memakai botol kaca, kini sudah banyak yang memakai PET maupun kemasan karton. Meski tidak memiliki datanya, konsumen di Indonesia lebih membeli karena produknya, bukan kemasannya. Jadi, peranan merek masih tetap nomor satu, kalau kemasan menjadi nomor dua atau tiga lah,” ujar Asnan.
Mengenai potensi pasar kopi RTD, khususnya kopi botol PET, masih terbuka lebar. Pasalnya, konsumsi kopi per kapita Indonesia masih rendah, di bawah 1 kg per kapita per tahun, atau diperkirakan baru sekitar 800 gr per orang per tahun. Padahal di negara lain seperti Amerika Serikat, angkanya sekitar 4 kg per kapita per tahun, malahan di negara eropa bisa mencapai 9 kg per kapita per tahun.
Masuk dalam kelompok makanan dan minuman (mamin), pertumbuhan produk kopi cukup menggembirakan. Faktanya sejak tahun 2002, industri mamin selalu tumbuh dua digit—jarang terjadi di industri lain. Bahkan, ketika situasi ekonomi sedang terguncang akibat krisis global pada tahun 2008, bisnis ini masih bertumbuh signifikan hingga 14,9%. Tak hanya di pasar mancanegara, peluang pasar kopi dalam negeri pun masih cukup tinggi.
Faktor lain yang diprediksi turut mendongkrak permintaan kopi RTD domestik adalah menjamurnya mini market di seluruh pelosok Indonesia. Alhasil, produsen kopi semakin gencar membuat inovasi-inovasi dari rasa kopi dan kemasan. “Sayangnya, kalau dilihat pemainnya masih pemain yang sama, tidak ada pemain baru. Sebut saja, Torabika, Kopiko, Kapal Api, dan Indocafe, sehingga nampak indikasi persaingannya tidak begitu ketat,” ungkap Asnan yang juga Direktur Program SGPP Indonesia.
Dalam mengonsumsi kopi, masyarakat kita sebenarnya belum terlalu branded mind, dalam artian kedua merek kopi botol PET tersebut belum memiliki awareness kuat. Terbukti ketika orang masuk ke supermarket, pasti akan memilih kopi RTD yang terdekat dan dapat dijangkau atau yang kemasannya menarik di mata.
Konsumen cenderung tidak loyal terhadap suatu merek kopi dan sering berganti-ganti dalam memilih minuman RTD. Belum lagi edukasi produsen kopi terhadap pasar sangat terbatas, berbeda dengan produsen teh botol PET.
Kondisi ini tentu membuat produsen sangat berhati-hati dalam investasi, apalagi jenis produk ini masih baru di Indonesia. Jadi jangan heran bila Kapal Api Group dan Mayora Group selaku produsen dari kedua kopi botol PET tersebut memilih melakukan toll manufacturing yang sama di PT Hokkan Indonesia, ketimbang memproduksi sendiri, meski keduanya merupakan seteru abadi di kancah bisnis perkopian di Tanah Air. Tujuannya tak lain mencegah kerugian.
Lantas, seberapa besar kans kedua merek tersebut diterima pasar? Sekali lagi Asnan menekankan, keberhasilan diterima pasar bukan hanya karena mampu berinovasi dalam kemasan, seperti kopi botol PET. Tapi, perlu juga didukung oleh kekuatan merek itu sendiri. Jadi, bila ingin sukses menguasai pasar kopi nasional, produsen kopi harus bisa menciptakan inovasi-inovasi yang cukup signifikan.
“Pastinya mereka harus belajar dari kesuksesan Luwak White Koffie. Inovasinya menghadirkan kopi putih terlihat sederhana, tapi mampu menjadi tren di pasar. Fenomena kopi putih yang awalnya hanya sebatas pasar blue ocean, sekarang menjelma menjadi red ocean. Seyogyanya produsen kopi harus berani berinovasi lebih lagi. Jangan pernah berhenti ciptakan sesuatu yang baru,” pungkas dia.
(Moh. Agus Mahribi, Isaiah Christian)
sumber : Kopi Botol, Mungkinkah Sesukses Teh Botol?
Baca selengkapnya di --> Kopi Botol, Mungkinkah Sesukses Teh Botol?
Share Artikel ini! »»
|
|
Tweet |
0 comments:
Post a Comment