Wednesday 25 June 2014







Niat untuk berwirausaha bisa muncul kapan saja. Tak peduli usia, asal
jeli melihat peluang dan kesempatan, tidak ada salahnya untuk mulai
menginjakkan kaki ke lahan bisnis.



Jiwa untuk berbisnis itu telah dimiliki Fery Eka Laksmana sejak
belia. Meskipun tak mengalir darah bisnis dalam keluarganya, Fery
mengaku, sejak kecil sudah suka berjualan. Bahkan, ketika menginjak
remaja, pria kelahiran Karawang Jawa Barat, 5 Februari 1981, ini semakin
jeli membaca peluang bisnis yang terbuka.



Dia mencontohkan, saat sekolahnya mengharuskan penggantian sepatu
setahun sekali, tanpa malu, dia mengumpulkan sepatu milik teman-temannya
untuk dijual lagi. “Saya jual ke daerah Kosambi,” kenang dia.



Tak heran, ketika duduk di tingkat empat pendidikan tingginya, atau
tepatnya tahun 2002, Fery berani membuka usaha peternakan sapi. Dia
menggandeng investor dan menggelontorkan dana Rp 26 juta sebagai modal.
“Saya terapkan sistem bagi hasil keuntungan dengan investor,” terang
dia.



Kejelian Fery melihat peluang bisnis pun makin terasah. Peternakan
sapi yang dekat dengan persawahan dan perkebunan, yakni di Cimalaya,
Karawang, memberi ide pada Fery untuk membuka toko pertanian. “Saya
melihat lahan pertanian dan perkebunan sangat luas, tapi hanya ada satu
toko pertanian,” kata alumnus Fakultas Hukum, Universitas Parahyangan,
Bandung ini.



Fery pun segera membuka toko yang menjual alat pertanian dan pupuk.
Dia seperti menemukan peruntungannya di bisnis baru ini. Hanya dalam
lima bulan pertama, ayah empat anak ini bisa mengejar omzet Rp 600 juta
saban bulan. “Bahkan, mengalahkan usaha peternakan sapi yang telah
dibangun selama tiga tahun,” seru dia.



Fery bilang, omzet cepat melejit lantaran lokasi tokonya berada di
daerah yang tepat. Tak hanya di Karawang, dia pun berhasil mengembangkan
penjualan hingga ke Majalengka, Sumedang, Tegal, dan Brebes, pada tahun
pertama bisnisnya.



Fery yang waktu itu masih berusia 25 tahun pun menikmati hasil
gemilang dari bisnisnya. Dia berhasil membeli rumah, mobil, dan berbagai
fasilitas lain dari hasil jerih payahnya sendiri.



Sayang, kesuksesan itu hanya berlangsung singkat. Pada tahun 2007,
dia mendapat pengalaman yang tak akan terlupakan di sepanjang hidupnya.



Saat itu, Fery tengah mengirim pesanan lima truk tronton pupuk ke
daerah Brebes, Jawa Tengah. Masing-masing tronton membawa sekitar 32 ton
pupuk. Dalam perjalanan, rombongan Fery ini ditahan dengan tuduhan
membawa pupuk gelap.



Dia dituding tidak memiliki surat-surat lengkap dan menjadi
penyelundup pupuk ke daerah Brebes. Nama Fery pun sempat menghiasi
headline beberapa media lokal. “Saya bingung kenapa ditahan karena saya
tidak merasa melakukan kesalahan,” kata Fery.



Setelah urus sana-sini, akhirnya Fery diperbolehkan keluar dari
kantor polisi dan pulang dengan truk-truk kosong. “Pupuk disita sebagai
barang bukti. Nilai kerugian saya berkisar Rp 600 juta hingga Rp 700
juta,” kisah dia.



Karena kejadian ini, bisnis Fery bangkrut. Dia lantas menyadari,
pengelolaan usaha yang berantakan juga menjadi salah satu penyebab
kegagalannya. “Sikap saya ternyata memang belum menjadi pengusaha yang
baik, keuangan dan manajemen karyawan juga masih berantakan,” ujar dia.
Kebangkrutan itu juga meninggalkan utang hingga Rp 1,2 miliar.



Tak tahan dikejar debt collector, Fery mulai menjual aset-aset yang
ia miliki. “Hasilnya bisa menutup setengah dari utang saya,” kenang dia.



Meski sempat stres, Fery bertekad untuk bangkit lagi. Dia keliling
Bandung dan berbagai daerah di Jawa Barat untuk mencari peluang bisnis
baru. Hingga akhirnya, Fery pun melihat kuliner bebek sedang naik daun
di Bandung. “Dari situlah, terlintas ide untuk menjadi pemasok bebek,”
tutur pria yang kini berusia 31 tahun.



Dia pun segera berburu bebek ke daerah Cilamaya dan membuka los di
Pasar Kosambi untuk berjualan bebek. Selain menjual, Fery juga memotong
bebek sendiri untuk pembelinya. “Saat itu, dalam pemikiran saya, apa pun
akan saya lakukan,” ujar dia.



Dari hari ke hari penjualan bebek terus meningkat karena Fery juga
memasok beberapa restoran. Pada tahun kedua, Fery bisa menjual 300 bebek
per hari. Dia pun lantas terpikir untuk membuka usaha peternakan
sendiri.



Pada Februari 2010, Fery mulai beternak bebek dengan menyewa 150 m2
lahan di Cilamaya. “Lahan itu mampu menampung 100 ekor bebek,” kata dia.



Tak berhenti di peternakan, muncul pula ide untuk membuka resto
bebek. “Saya ingin punya nilai tambah, jangan hanya menjadi pemasok
saja,” katanya. Mulailah dia melakukan riset soal bumbu berbagai olahan
bebek. September 2010, Fery membuka resto bebek pertamanya, Bebek Udig
di dekat Universitas Islam Bandung.



Usaha peternakan Fery terus berkembang. Kini, peternakannya menjual
2.500 ekor bebek per minggu. Dia juga mengembangkan lahan peternakan
milik sendiri, hingga 5.000 m2. Selain itu, resto Bebek Udig pun pindah
ke kawasan Dago di atas lahan seluas 600 m2.




Powered By WizardRSS.com | Full Text RSS Feed | Amazon Wordpress | rfid blocking wallet sleeves


sumber : Dulu Pernah Bangkrut, Kini Fery Kaya Raya dari Bisnis Ternak Bebek

Baca selengkapnya di --> Dulu Pernah Bangkrut, Kini Fery Kaya Raya dari Bisnis Ternak Bebek



Share Artikel ini! »»

0 comments:

Post a Comment