Monday, 29 September 2014

FandyMenaikkan harga memang menjadi keputusan dilematis yang harus dilakukan para pelaku usaha. Agar tidak ditinggalkan para pelanggannya, sebelum menaikkan harga penting bagi pelaku usaha untuk memastikan seberapa besar nilai tambah atas produk dan jasa layanan yang ditawarkan.

Harga merupakan salah satu aspek yang pertama kali dilihat konsumen untuk tertarik atau tidak membeli atau menggunakan sebuah produk maupun jasa layanan.

Memang keputusan akhir dalam pembelian juga dipengaruhi aspek-aspek lain, seperti kemasan, kualitas, pengalaman, dan kekuatan merek. Namun, dalam persaingan yang kian terbuka, setiap pemilik merek ataupun pemasar dituntut untuk lebih jeli dalam menetapkan harga dasar ataupun kenaikan harga demi memenangkan persaingan.

Seperti dipaparkan Fandy Tjiptono, Pengamat Pemasaran dari Universitas Atma Jaya–Yogyakarta, harga memainkan peranan strategis dalam pemasaran. Pertama, harga merupakan satu-satunya elemen bauran pemasaran (marketing mix) yang mendatangkan pemasukan bagi perusahaan. Dalam hal ini harga berpengaruh pada pendapatan dan laba.

Kedua, harga merupakan elemen yang paling tampak jelas (visible) bagi calon konsumen. Sering kali harga dijadikan indikator kualitas, terutama ketika aspek-aspek lain (seperti fitur produk) kurang dipahami konsumen. Sejalan dengan itu, harga memengaruhi citra dan strategi positioning.

Ketiga, harga merupakan salah satu penentu utama permintaan. Berdasarkan hukum permintaan, mahal atau murahnya harga berpengaruh pada kuantitas produk yang dibeli konsumen.

Keempat, dibandingkan elemen marketing mix lainnya—semisal produk, distribusi, dan komunikasi pemasaran, harga relatif lebih fleksibel. Artinya, relatif lebih mudah diubah dan diadaptasikan dengan dinamika pasar. “Tentu saja proses penetapan harga bisa bermacam-macam, tergantung pada tiap-tiap perusahaan atau pemasar,” ujar Fandy yang juga penulis buku Strategi Pemasaran.

Secara konvensional, proses penetapan harga dilakukan dalam beberapa langkah, meliputi penentuan tujuan penetapan harga. Misalnya, survival, memaksimalkan laba saat ini, memaksimalkan pangsa pasar, dan lain-lain. Langkah berikutnya menentukan permintaan, semisal tingkat sensitivitas harga. Kemudian mengestimasi biaya, menganalisis bauran harga pesaing, memilih metode penetapan harga. Contohnya, markup pricing, target-return pricing, perceived-value pricing, going-rate pricing, auction-type pricing. Langkah terakhir adalah menentukan harga final.

Sekali lagi, sangat tergantung pada konteks dan kepentingan pihak yang menetapkan harga. Di luar langkah di atas, kadang masih perlu dipertimbangkan aspek adaptasi atau penyesuaian harga, seperti diskon (diskon kuantitas, diskon kas, diskon fungsional, diskon musiman), geographical pricing (pembebanan ongkos kirim untuk konsumen yang tinggal di lokasi geografis berbeda), promotional pricing, dan differentiated pricing (harga berbeda untuk segmen berbeda, bentuk produk berbeda, waktu konsumsi berbeda, dan lain-lain).

“Dalam praktik, kadang proses penetapan harga bisa sangat sederhana, yaitu menghitung harga beli (harga kulakan), lalu tambahkan saja margin atau tingkat keuntungan yang diharapkan, jadilah harga jual. Ini yang dipakai para pedagang, seperti di pasar tradisional,” jelas lulusan S-1 terbaik kedua dari UGM ini.

Sementara penetapan kenaikan harga, Fandy mengatakan, biasanya dipengaruhi beberapa faktor, antara lain kenaikan biaya produksi atau operasional, lonjakan permintaan (sehingga perlu adanya demarketing, baik temporer maupun permanen), dan pilihan strategi repositioning.

Tetapi, pemasar tidak bisa menutup mata bahwa ada juga pihak-pihak tertentu yang menaikkan harga karena alasan-alasan tidak etis, misalnya ingin meraup keuntungan besar akibat isu-isu seperti kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak). Harga BBM belum naik, harga barang-barang lain sudah duluan naik, bahkan kalau harga BBM turun, harga barang lain tidak serta-merta ikut turun.

Selain faktor tersebut, ada baiknya pemasar memahami juga beberapa faktor yang memengaruhi fleksibilitas harga. Dalam hal ini Fandy menggambarkan fleksibilitas harga seperti rumah (lihat Gambar 1). Ibarat lantai rumah, batas bawah tingkat harga adalah biaya. Serendah-rendahnya tingkat harga, paling tidak bisa menutup biaya variabel. Seperti langit-langit rumah, harga tertinggi ditentukan oleh tingkat permintaan pelanggan. Sementara itu, dinding-dindingnya adalah faktor kompetisi dan etika atau hukum.

Gambar

Kendati teorinya terlihat mudah, Fandy mengakui implementasi dalam menaikkan harga memang jauh lebih sulit dibandingkan menurunkan harga. Pasalnya dalam teori perilaku konsumen, dikenal adanya Weber’s Law atau dikenal pula dengan istilah just-noticeable difference (JND). Intinya, dalam perubahan negatif (seperti kenaikan harga), konsumen tidak akan terlalu memasalahkannya selama kenaikan harga tidak signifikan atau di bawah level JND konsumen bersangkutan.

Jika daya beli konsumen ikut melemah, mereka mungkin melakukan beberapa tindakan untuk menunda pembelian dan konsumsi, mengevaluasi ulang skala prioritas pembelian produk, beralih ke merek lain yang lebih murah atau pindah ke produk substitusi, tetap membeli merek bersangkutan walaupun terpaksa mengurangi kuantitas yang dibeli dan dikonsumsi.

Kalaupun tetap membeli dan mengonsumsi seperti sebelum kenaikan harga, biasanya terjadi pada konsumen yang loyal terhadap merek. Apalagi jika kenaikan harga diikuti dengan kenaikan kuantitas, kualitas produk, maupun nilai lebih yang didapat. Dalam kasus karena repositioning ke upper market dengan asumsi ada value yang lebih besar dan karena over-demand, kenaikan harga relatif lebih mudah dilakukan. Namun, kenaikan harga karena lonjakan biaya produksi atau operasional bisa jadi lebih sukar dilakukan.

Gampangnya, jika persentase kenaikan harga lebih besar daripada tingkat inflasi atau persentase kenaikan harga BBM atau tarif listrik, umumnya konsumen menganggap kenaikan tersebut terlalu besar. Sebab itu, kenaikan harga akan lebih bagus jika dibarengi dengan peningkatan nilai tambah suatu produk atau jasa layanan.

“Menaikan harga bukan semata-mata nominalnya saja yang dinaikkan, tapi juga ada nilai lebih yang didapat konsumen, seperti kualitas, kuantitas, layanan, ‘undian berhadiah’, atau aspek lain. Ada harga, ada wujud,” tutur jebolan University of New South Wales, Sidney, Australia, untuk pendidikan S-2 dan S-3.

Dalam praktiknya, waktu yang dipilih dalam menaikkan harga secara umum dilakukan perusahaan setelah ada kepastian kenaikan harga komponen-komponen biaya, seperti harga BBM, tarif listrik, harga bahan mentah. Namun, pada kasus demarketing, biasanya harga dinaikkan beberapa saat setelah terjadi over-demand.

Sedangkan untuk kasus repositioning, lazimnya ada semacam periode “sosialisasi”. Kemungkinan ada promotional pricing terlebih dahulu, seperti periode diskon, sebelum harga benar-benar dinaikkan secara penuh.

Lantas, bagaimana perusahaan menjaga pasar atau pelanggan seiring dengan kenaikan harga yang diterapkan? Kuncinya adalah di komunikasi pemasaran, terutama menyangkut alasan dan besaran kenaikan tersebut. Sebagai ilustrasi, jika harga BBM naik, sebagian besar konsumen mungkin sudah mengantisipasi bahwa harga produk secara umum bakal ikut naik. Yang jadi perhatian adalah berapa besar persentase kenaikannya.

“Pada kasus repositioning, perusahaan harus bisa memastikan bahwa kenaikan harga benar-benar mencerminkan positioning yang baru. Artinya, kualitas produk dan citra merek sepadan dengan kenaikan harga tersebut. Selain itu, jangan sekali-kali menaikkan harga dibarengi dengan penurunan kualitas,” tegas Fandy.

 

Moh. Agus Mahribi

Foto: Istimewa



Powered By WizardRSS.com | Full Text RSS Feed | Amazon Wordpress | rfid blocking wallet sleeves


sumber : Ada Harga, Ada Wujud

Baca selengkapnya di --> Ada Harga, Ada Wujud



Share Artikel ini! »»

0 comments:

Post a Comment