Sedikit kembali ke masa kejayaan Radio, atau tepatnya sebelum era digital masuk ke Indonesia. Kala itu, radio konvensional seolah menjadi teman pribadi tiap individu. Saat sedang belajar, ketika galau, pas mau tidur, semua orang pasti punya kenangan bersama stasiun radio favoritnya, terutama di kamar. Sekarang, apa kabar?
Sekitar tahun 2007, begitu perkembangan 3G sudah bisa dinikmati di Indonesia, penduduk Indonesia seolah punya mainan baru. Radio pun sedikit demi sedikit mulai mengalami penyusutan jumlah pendengar. Berbeda dengan tv yang masih dinikmati hingga sekarang karena punya konten yang beragam, radio agaknya sedikit kesulitan melakukan penetrasi karena cuma bisa menyuguhkan konten berupa suara.
“Dulu, Radio pernah jadi teman yang bersifat personal. Maka tak heran jika mereka nyebut pendengarnya dengan kata ganti orang ke dua, kamu, anda, atau elo, bukan kalian,” ucap Imansyah, Director Masima RadioNet.
Sandiwara radio mungkin pernah menjadi idola masyarakat yang paling ditunggu-tunggu di era 90an. Sekarang, publik seolah malas membayangkan apa yang sedang terjadi pada sandiwara, theater of mind tak lagi diminati.
Keinginan pendengar berubah, mereka kemudian lebih menyukai musik, dan lagi-lagi sepertinya itu mulai menghilang, karena masyarakat lebih memilih untuk mendengar mp3 yang sudah ada di smartphone nya masing-masing.
Hiburan yang dulu ditawarkan radio tak lagi berefek, masyarakat lebih memilih main denganhandsetnya yang selalu dibawa ke mana-mana.
Apa kabar mu radio?
Kini, para pelaku di industri radio mencoba untuk hadir dalam tiap handset masing-masing individu, caranya dengan menyediakan aplikasi untuk smartphone dan website.
“Dilihat dari trennya, kami belum mengetahui dengan persis berapa penurunannya (pendengar radio konvensional), tapi ada pergeseran pendengar. Sekarang, kami membuatwebsite dan aplikasi untuk mendekatkan diri dengan mereka (pendengar),” kata Jimriance Efraim, Director Heartline Fm.
Hanya saja, menurut Jimri, di Indonesia belum ada role model yang cocok untuk menampilkan konten yang diinginkan pendengar. “Kami masih dalam tahap meraba, konten seperti apa yang diminati,” lanjutnya.
Sekarang, coba kita tanya para pendengar radio mengenai keinginan mereka terhadap industri Radio.
Menurut Nur Faida Sholihat, mahasiswi asal Jakarta, posisi radio masih belum tergantikan bagi dirinya, yakni sebagai benchmark lagu-lagu terkini, tapi tentu saja hal ini jadi tak bisa dinikmati setiap hari. Terbukti, Ida hanya mendengarkan radio seminggu sekali.
Sedangkan Borman Lorenzo, salah satu karyawan swasta di perusahaan jasa mengatakan bahwa ia masih suka mendengarkan radio ketika di mobil. Pasalnya, radio bisa nge-mix content, antara lagu dan program yang dibawakan penyiar, tidak seperti mp3. Tapi menurut pernyataannya, ia hanya mendengar radio saat di mobil.
Lain lagi bagi Niko Bayu Aji, seorang editor salah satu stasiun TV swasta di Jakarta ini menegaskan bahwa dirinya tak lagi mendengarkan radio. Alasannya, internet sudah dapat menyuguhkan apa saja kebutuhannya, mulai dari men-download lagu yang disukai, menggali informasi terkini, hingga mencari konten yang sesuai dengan minatnya.
Anyway, sifat radio tampaknya masih lekat dengan pendengarnya, terbukti dengan masih banyaknya radio yang di dengar secara konvensional. Jika ingin beralih ke digital, sepertinya para pelaku diindustri tersebut harus menyajikan konten yang berbeda.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kabar radio di era digital, Anda bisa membaca majalah Youth Marketers edisi 20 yang terbit pada minggu ini.
sumber : Hai Radio, Apa Kabar?
Baca selengkapnya di --> Hai Radio, Apa Kabar?
Share Artikel ini! »»
|
|
Tweet |
0 comments:
Post a Comment